Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Skandal Migas 2025: Jejak Riza Chalid, Kerugian Negara, dan Harapan Penegakan Hukum


Pada 10 Juli 2025, Kejaksaan Agung secara resmi menetapkan Mohammad Riza Chalid (MRC) sebagai tersangka utama dalam skandal korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina – KKKS periode 2018–2023. Ia dianggap sebagai beneficial owner PT Orbit Terminal Merak dan PT Navigator Khatulistiwa, yang berkontribusi mendukung praktik manipulasi kontrak dan intervensi kebijakan di lingkungan Pertamina.

Bersamaan dengan itu, Kejaksaan Agung menerapkan pencegahan perjalanan ke luar negeri (travel ban) terhadap Riza sejak 10 Juli 2025, berlaku hingga enam bulan ke depan. Meskipun dicegah, pihak penyidik menduga Riza telah berada di luar negeri—diduga Singapura atau Malaysia—sejak beberapa bulan sebelumnya.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyatakan bahwa Riza telah tiga kali mangkir pemanggilan secara resmi. Penyidik kini tengah menjalin koordinasi dengan otoritas melalui perwakilan Kejaksaan Indonesia di luar negeri, terutama di Singapura, untuk menangkap dan memulangkan Riza ke Indonesia.

Meski demikian, Kemenlu Singapura telah menyanggah kabar bahwa Riza berada di negaranya. Data imigrasi resmi Singapura menunjukkan bahwa Riza tidak berada di sana dan sudah lama tidak memasuki wilayah mereka. Namun, mereka menyatakan siap membantu Indonesia jika terjadi permintaan resmi dalam konteks hukum.

Per Juli 2025, jumlah tersangka dalam perkara ini meningkat menjadi total 18 orang. Data Kejagung mengungkap bahwa kerugian negara turut diperbarui menjadi sebesar Rp 285 triliun, naik signifikan dari estimasi awal Rp 193,7 triliun.

Riza Chalid dan sejumlah petinggi lainnya—seperti Hanung Budya (mantan Direktur Pemasaran & Niaga Pertamina), Alfian Nasution (mantan VP Supply & Distribusi Pertamina), serta Gading Ramadhan Joedo (Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak)—dituduh merancang dan menyepakati kontrak sewa terminal BBM Merak secara tidak wajar serta menghapus skema kepemilikan aset negara untuk keuntungan pribadi.

Organisasi masyarakat seperti LBH GP Ansor mendesak Kejaksaan segera mengambil langkah hukum konkret: menyita aset milik Riza dan menerbitkan red notice melalui Interpol agar kasus ini bisa diselesaikan tanpa kompromi. Mereka menilai penetapan tersangka ini sebagai titik balik penting dalam upaya menghentikan era impunitas bagi pengusaha besar di sektor migas.

Dalam keterangan resmi, Dendy Zuhairil Finsa, Ketua LBH GP Ansor, menyatakan bahwa penyitaan aset sementara dan penerbitan red notice sangat diperlukan agar potensi penghilangan aset dapat dicegah dan negara dapat meningkatkan peluang pengembalian kerugian.

“Riza Chalid (bapaknya Kerry Andrianto Riza)... tetap dihukum”
“Bapaknya mau gimanapun ga akan ketangkap karena setau gue udah tidak tinggal di Indonesia... langkah paling bisa dilakukan adalah boikot/sita Kidzania milik pak Riza Chalid.”

Pendapat lain menyoroti bahwa Riza termasuk dalam lingkar elite:

“Dia salah satu pemodal pilpres Prabowo tahun 2014” serta banyak terlibat dalam berbagai kasus sebelumnya, membuat pengawasan semakin sulit karena berada di “lingkar kekuasaan” yang melindungi dirinya.

Sejumlah komentar juga menggarisbawahi bahwa praktik mob grammatis berupa mark-up kontrak dan jaringan mafia migas terus mengekspos sistem hukum kepada risiko kompromi politik:

“Mafia migas dia. Udah kelamaan berkuasa jadi duitnya udah disebar kemana‑mana...”

Hingga saat ini, Riza belum resmi masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Kejagung masih menunggu apakah ia akan datang secara sukarela setelah penetapan tersangka. Namun, jika mangkir berulang, penyidik berencana mengambil langkah hukum lebih lanjut, termasuk kemungkinan penerbitan red notice internasional dan penahanan paksa melalui jalur ekstradisi atau bantuan hukum internasional (Mutual Legal Assistance).

Meskipun Riza telah dicegah ke luar negeri, upaya ini tetap dianggap penting karena memberi label “high‑risk person” di sistem imigrasi. Ini akan berdampak jangka panjang terkait pengurusan paspor, visa, dan izin tinggal, sekaligus memberi peluang monitoring atas pergerakan keluar masuk wilayah negara lain.

LBH GP Ansor mengusulkan penyitaan sementara aset milik Riza agar tidak dialihkan ke entitas lain, sekaligus memudahkan proses penegakan pengembalian dana ke kas negara. Tekanan publik dan publikasi kasus ini diharapkan mendorong transparansi dan akuntabilitas hukum pemerintah terhadap kasus bernilai besar ini.

Jika Kejagung serius menjalankan koordinasi internasional dan publik mendukung dengan meminta red notice, proses hukum diharapkan bergerak lebih serius. Penahanan paksa atau ekstradisi menjadi kunci agar penanganan kasus ini tidak hanya berhenti pada level tersangka dalam negeri.

Di sisi lain, keberhasilan membalik kerugian negara senilai Rp 285 triliun tergantung pada proses penyitaan, transparansi audit aset, dan penyidikan menyeluruh terhadap aliran dana. Komitmen politik hukum dan ketegasan tanpa kompromi amat diperlukan agar kasus ini menjadi momentum perubahan penegakan hukum di Indonesia.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa per Juli 2025, pengawasan kasus korupsi Pertamina semakin intens. Penetapan Riza Chalid sebagai tersangka dan estimasi kerugian negara meningkat menjadi Rp 285 triliun – disebut sebagai mafia migas level tinggi. Meskipun dicegah ke luar negeri dan belum dipenjara, proses hukum terus berjalan melalui langkah koordinasi lintas negara dan tekanan publik agar keadilan ditegakkan tanpa kompromi.

Namun, tantangan besar masih menanti: apakah hukum akan benar-benar menjerat aktor berpengaruh lintas batas negara? Apakah aset negara dapat diakses kembali sepenuhnya? Hanya waktu dan ketegasan penegakan hukum yang akan menjawabnya. 

Post a Comment for "Skandal Migas 2025: Jejak Riza Chalid, Kerugian Negara, dan Harapan Penegakan Hukum"